Senin, 18 Oktober 2010

Artikel Realita Pendidikan di SD pedalaman"Dua Kelas Dalam Satu Ruang"

Berbagi satu ruang untuk kegiatan belajar dua kelas adalah hal yang biasa dilakukan di SD Negeri 02 Sendang, sebuah SD terpencil yang memiliki murid sekitar 40 anak, yang terletak di dusun ngantup desa Nyawangan kecamatan Sendang Tulungagung.
Aroma khas pegunungan mulai menyeruak masuk hidung, udara pagi itu begitu dingin. Dengan jarak tempuh sekitar 35 km dari wilayah kota Tulungagung, empat orang kru DIMeNSI melakukan investigasi di Sekolah Dasar Negeri 02 Sendang, yang persis terletak di Dusun Ngantup, desa Nyawangan kecamatan Sendang Tulungagung.
Walau jalan yang dihadapi begitu tajam dan berkelok-kelok, hal ini tidak menyurutkan keinginan empat kru DIMeNSI untuk melihat dari dekat SD yang telah berdiri sekitar 39 tahun yang lalu ini. Keempat kru DIMeNSI disambut begitu hangat oleh para guru SD ini, saat itu tengah berlangsung Ujian Akhir Sekolah (UAS) untuk kelas 1-5.
Sarana Prasarana yang Terbatas
SD Negeri 02 Sendang ini adalah satu dari 35 SD di daerah Sendang (Tulungagung dalam Angka, BAPPEDA 2006) yang hampir saja luput dari perhatian masyarakat Tulungagung. Sekilas dari kejauhan bangunan SD yang beratap asbes ini tidak bermasalah, tetapi jika kita megamatinya lebih dekat, akan tampak sekali kalau bangunan itu kurang perawatan. Tiang-tiang penyangga yang lapuk serta langit-langit yang jebol dimakan waktu, serta ruang kelas yang sebenarnya kurang layak untuk melakukan proses pembelajaran.
SD yang teletak di daerah perkebunan karet dan terletak di puncak gunung ini, hanya memiliki 3 ruang kelas. Di setiap kelasnya, ada sebuah papan sekat yang membagi ruangan menjadi dua. Sehingga ada dua kegiatan belajar mengajar di setiap ruang kelasnya. Kelas satu digabung dengan kelas dua, kelas tiga digabung dengan kelas empat, dan kelas lima digabung dengan kelas enam."Dalam keseharian mengajar, kita harus benar-benar menjadwal dengan baik, nanti kalau yang satu matematika, lalu yang kelas sebelahnya menyanyi, kasihan kan?" tutur Agus Indarto, salah seorang guru yang mengajar di SD ini.
SD ini memulai aktivitas belajar mengajarnya pada pukul delapan pagi bahkan bisa dimulai pukul setengah sembilan. "Jam segitu, sampean (jawa: kamu ) tanya saja, 97% dari mereka pasti belum makan pagi." Masih Agus. Menurut pengakuan mereka, pernah ada juga murid yang pingsan saat upacara karena belum makan. Eva (9), sejak kelas 1 SD menempuh pendidikan dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Selain itu, dia dan juga beberapa temannya harus menempuh perjalanan yang jauh untuk menuju sekolahnya ini. Di samping itu, dia juga menjajakan makanan kecil kepada teman-temannya untuk menambah penghasilan kedua orang tuanya. "Berangkatnya jam enam pagi, terus sampai sekolah ya jam setengah tujuh" tutur Gunawan, yang saat ini sedang duduk di kelas 3 SD bersama 6 orang temannya.
Dengan latar belakang daerah pegunungan, yang sebagian besar bermata pencaharian petani dan penyadap karet, membuat masyarakat itu minim pengetahuan. "Dulu, pernah kejadian begini, pas upacara bendera, tiba-tiba ada seekor kidang (rusa; yang muncul di sekitar kawasan sekolah ini, tanpa disuruh pun, semua murid yang ikut upacara bubar." Terang Agus sembari tertawa kecil, yang diikuti oleh empat kru DIMeNSI yang lainnya.
Minim kesejahteraan
Persoalan yang banyak menjadi keluhan para guru adalah lokasi yang terpencil dengan jalan yang masih belum beraspal. Tidak jarang jika musim penghujan banyak dari guru yang jatuh dari sepeda motor karena jalan yang teramat sulit dan licin. Di samping itu kesejahteraan para guru dan kepala sekolah masih memprihatinkan. Seperti yang di ungkapakan oleh Nurohmad, "Saya sudah mengajukan mutasi sebanyak tiga kali akan tetapi belum ditanggapi."
Selain itu, sedikit sekali bantuan yang diberikan untuk menyejahterakan sekolah ini. Yang pernah diberikan adalah bantuan uang transportasi 30 ribu, dua kali saja selama dua tahun, juga bantuan sepatu untuk guru-guru hanya sekali saja. "Ya sepatu yang sekarang saya pakai ini," ungkap Nurohmad, laki-laki paruh baya yang telah mengabdikan dirinya selama 21 tahun di SD Negeri 02 Sendang ini, sembari memperlihatkan sepatu yang bagian talinya bertuliskan guru kepada kru DIMeNSI. Dia mengabdikan dirinya bersama 10 orang guru yang lainnya, empat orang diantaranya adalah pegawai negeri sipil, dua orang yang lainnya adalah calon pegawai negeri, sedangkan empat sisanya adalah guru honorer. Mereka semua harus menempuh perjalanan beberapa kilometer setiap harinya untuk mengajar.. "Dulu, juga pernah ada bantuan uang makan untuk murid-murid dari Pak Bupati, 500 ribu. Setelah beliau pulang, beberapa hari kemudian saya pernah mencoba menghubungi beliau untuk berterimakasih, tapi berkali-kali saya coba tidak pernah diangkat," kata Agus, "ya sama dengan falsafah lama to, yang dekat dewa yang enak," sahut Nurohmad. "ya, bukannya gimana-gimana, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih saja," balas Agus, laki-laki yang berdomisili di Gedang Sewu Tulungagung ini.
Layaknya SD pada umumnya, jangan dibayangkan siswa di sini berseragam lengkap. Ada sebagian yang tidak berseragam, bahkan ada yang membawa adiknya ke sekolah, atau istilah jawanya momong (mengasuh), hal ini dilakukan karena di rumah tidak ada yang mengasuh, ditinggal orang tua mereka bekerja seharian di ladang atau menyadap karet. Pada sekitar tahun 1992, dengan membawa seragam sekolah, guru-guru menghampiri rumah-rumah penduduk untuk mengajak anak-anak usia sekolah mau belajar di SD ini.
Di tengah-tengah wawancara, seorang anak kelas enam, yang berjalan bersama kerumunan teman-temannya yang hendak pulang, bertanya kepada Agus dan Nurohmad, "Pak, besok bawa tas nggak?", Agus pun menjawab, "Sembarang nduk, bawa takir yo oleh sing penting mlebu (terserah nak, membawa takir (jawa: makanan bungkus) juga boleh, asalkan masuk sekolah;)."
Sambutan ramah dan hangat, jalan berkelok-kelok nan terjal yang membuat adrenalin dalam darah meningkat, senyum anak-anak kecil yang ceria nan polos, adalah kenangan yang tak terlupakan saat empat kru DIMeNSI meninggalkan SD ini. Terbersit satu tanya, sampai kapankah proses pendidikan mereka akan terus seperti ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar