Kita meyakini bahwa salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasakan arah perkembangan masyarakat Indonesia di masa depan adalah pendidikan. Pendidikan dalam konsep pengembangan masyarakat merupakan dinamisasi dalam pengembangan manusia yang beradab. Pendidikan tidak hanya terbatas berperan pada pengalihan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) saja, namun dalam Undang-undang No: 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dari fungsi dan tujuan pendidikan ini diharapkan manusia Indonesia adalah manusia yang berimbang antara segi kognitif, afektif dan psikomotor.
Dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional, dunia pendidikan kita secara nasional dihadapkan pada salah satu
masalah besar yakni peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Masalah ini menjadi fokus yang paling penting dalam pembangunan pendidikan nasional. Pembangunan pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan SDM suatu Negara.
Pemeringkatan internasional menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia berdaya saing rendah secara global. Hasil
penelitian UNDP pada tahun 2007 tentang HDI (Human Development Index), Indonesia menduduki peringkat ke 107 dari 177 negara yang diteliti, dan dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian Indonesia pada peringkat yang paling rendah. (HD Report 2007/2008)Salah satu unsur utama dalam penentuan komposit Indeks
Pengembangan Manusia ( Human Development Index) ialah tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa
tersebut. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas SDM adalah gambaran mutu pendidikan yang tidak
menggembirakan. Rendahnya kualitas SDM akan menjadi batu sandungan dalam era globalisasi, karena era globalisasi
merupakan era persaingan mutu atau kualitas. Jika bangsa Indonesia ingin berkiprah dalam dunia global maka langkah
pertama yang harus dilaksnakan adalah menata SDM, baik dari aspek intelektual, emosional, spiritual, kreativitas, moral
maupun tanggungjawabnya. Penataan ini perlu diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan melalui sistem
pendidikan yang berkualitas.Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan tersebut dipengaruhi oleh sejumlah factor. Di
antara factor terpenting adalah terkait dengan kinerja kepala sekolah dalam mengelola sekolah sebagai satu satuan
pendidikan yang menyelenggarakan proses pembelajaran kepada peserta didik. Dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun
1990 bahwa : ”Kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi
sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sasarana dan
prasarana”. Maka kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan maka dalam tinjauan kinerja kepala sekolah perlunya adanya pemikiran tentang
upaya-upaya strategis peningkatan mutu pendidikan khususnya pada jejang sekolah dasar.
Pendidikan di Sekolah Dasar
Kamis, 18 November 2010
Minggu, 14 November 2010
Pendidikan ke Depan
Mengapa pendidikan bermasalah? Berbagai teori dikemukakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Namun, banyak orang sering lupa bahwa masalah pendidikan yang sebenarnya mendasar adalah bagaimana memanusiakan anak sebagai manusia melalui pendidikan. Permasalahan pendidikan di negeri ini lebih banyak disebabkan masalah anak sebagai anak manusia selalu diselesaikan menurut beragam kepentingan orang tua/orang dewasa. Harus disadari dan dipahami bahwa masalah pendidikan bukan hanya sekedar memberdayakan pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan nurani dan moral spiritual serta pembentukan karakter.
Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah, karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya.
Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk sekolah.
Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar. Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan, mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.
Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai 4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa tidak ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan produk teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).
Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas Kabupaten/Kota, sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan, maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya untuk langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya, karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya peserta didik.
Sekali lagi inilah masalahnya, kita cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain, termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam pengelolaan pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya untuk tidak terlihat salah dengan jalan mengorbankan anak didik. Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering dan selalu kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang!!!
Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah, karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya.
Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk sekolah.
Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar. Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan, mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.
Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai 4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa tidak ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan produk teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).
Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas Kabupaten/Kota, sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan, maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya untuk langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya, karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya peserta didik.
Sekali lagi inilah masalahnya, kita cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain, termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam pengelolaan pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya untuk tidak terlihat salah dengan jalan mengorbankan anak didik. Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering dan selalu kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang!!!
Senin, 25 Oktober 2010
Mahalnya pendidikan sekarang ini
Pendidikan merupakan faktor kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan. Biaya pendidikan sekarang ini tidak murah lagi karena dilihat dari penghasilan rakyat Indonesia setiap harinya. Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya pendidikan di perguruan tinggi melainkan juga biaya pendidikan di sekolah dasar sampai sekolah menengah keatas walaupun sekarang ini sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) semuanya masih belum mencukupi biaya pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Pendidikan di Indonesia masih meupakan investasi yang mahal sehingga diperlukan perencanaan keuangan serta disiapkan dana pendidikan sejak dini. Setiap keluarga harus memiliki perencanaan terhadap keluarganya sehingga dengan adanya perencanaan keuangan sejak awal maka pendidikan yang diberikan pada anak akan terus sehingga anak tidak akan putus sekolah. Tanggung jawab orang tua sangatlah berat karena harus membiayai anak sejak dia lahir sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Mahalnya biaya pendidikan sekarang in dan banyaknya masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan sehingga tidak begitu peduli atau memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya, sehingga membuat anak putus sekolah, anak tersebut hanya mendapat pendidikan sampai pada jenjang sekolah menengah pertama artau sekolah menengah keatas. Padahal pemerintah ingin menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Jika masalah ini tidak mendapat perhatian maka program tersebut tidak akan terealisasi. Banyak anak yang putus sekolah karena orng tua tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya.
Sehingga kami berharap pada pemerintah untuk memberikan kebijakan dan peduli terhadap pendidikan dan masyarakat Indonesia, karena sekarang ini bangsa Indonesia banyak mengalami problema khususnya problema bencana alam yang mengakibatkan rusaknya lembaga pendidikan.
Inovasi Pendidikan Sekolah Dasar
Inovasi ialah suatu upaya yang sengaja dilakukan untuk memperbaiki praktik pendidikan dengan sungguh-sungguh. Miles dalam Ibrahim (1988:52) mengungkapkan paling tidak ada 11 komponen penting yang menjadi wilayah inovasi dalam pendidikan. Kesebelas komponen tersebut yaitu
(1) personalia
(2) banyaknya personal dan wilayah kerja,
(3) fasilitas fisik,
(4) penggunaan waktu,
(5) perumusan tujuan,
(6) prosedur pembelajaran,
(7) peran yang diperlukan,
(8) wawasan dan perasaan,
(9) bentuk hubungan antarbagian atau mekanisme kerja,
(10) hubungan dengan sistem lain,
dan (11) perencanaan strategi pembelajaran.
Untuk keberhasilan inovasi itu dipandang perlu adanya perencanaan yang matang. Ibrahim (1988) mengungkapkan elemen-elemen pokok dalam proses perencanaan yaitu:
(a) merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus inovasi,
(b) mengidentifikasi masalah,
(c) menentukan kebutuhan,
(d) mengidentifikasi sumber penunjang dan penghambat,
(e) menentukan alternatif kegiatan,
(f) menemukan alternatif pemecahan masalah,
(g) menentukan alternatif pendayagunaan sumber daya yang ada,
(h) menentukan kriteria untuk memilih alternatif pemecahan masalah,
(i) menentukan alternatif pengambilan keputusan,dan
(j) menentukan kriteria untuk menilai hasil inovasi.
Berdasarkan pemikiran di atas dipandang perlu adanya sebuah model dalam inovasi pendidikan. Model itu ialah model MOPIPPI yang bercirikan terbuka, fleksibel, keseluruhan, dan hubungan.
Cara menerapkan inovasi pendidikan di SD disarankan satu alternatif berupa lagkah-langkah praktis dalam penerapan inovasi pendidikan SD, yaitu
(1) buatlah rumusan yang jelas,
(2) gunakan metode atau cara yang memberi kesempatan,
(3) gunakan berbagai macam alternatif,
(4) gunakan data atau informasi yang sudah ada,
(5) gunakan tambahan data untuk mempermudah fasilitas,
(6) gunakan pengalaman Sekolah Dasar atau lembaga yang lain,
(7) berbuatlah secara positif,
(8) menerima tanggung jawab pribadi,
(9) adanya pengorganisasian kegiatan, dan
(10) mencari jawaban atau beberapa pertanyaan dasar tentang inovasi di sekolah.
Senin, 18 Oktober 2010
Gandhi dan Pendidikan
Pendidikan yang sempurna ialah membangkitkan sifat-sifat diri kita sendiri yang terbaik.
Pernyataan di atas mengingatkan saya akan suatu kisah, di sebuah negara di mana pemerintahnya lebih khawatir jika anak-anak negeri itu tidak bisa mengantre dibandingkan tidak bisa menulis dan membaca. Gandhi pernah menuliskan bahwa kepandaian membaca dan menulis bukanlah merupakan tujuan akhir, bahkan bukan juga tujuan awal dari pendidikan.
Pendidikan yang sejati dapat diperoleh dengan mengajarkan anak untuk secara cerdas menggunakan anggota tubuhnya sebagai cara paling sempurna dan paling cepat untuk mengembangkan kecerdasannya. Pembinaan akal dan tubuh itu seyogyanya dilakukan seiring dengan pendidikan bathin (jiwa). Dengan demikian pendidikan akal budi dapat tercapai.Ketiga cabang ilmu tersebut menurut Gandhi merupakan keterpaduan yang tidak dapat dipisahkan.
Gandhi menempatkan akal budi sebagai landasan manusia dalam berpikir dan bertindak. Menurut Gandhi, pada manusia akal budilah yang menggerakkan dan mengendalikan perasaan. Membangkitkan akal budi berarti membangkitkan keinsyafan untuk membedakan antara yang baik dan batil.
Dan sejatinya tujuan pendidikan adalah mendidik diri kita sendiri. Menjadi baik atau batil adalah sebuah pilihan. Dan keduanya mencerminkan bagaimana kita menghargai sebuah pendidikan yang telah kita lalui.
Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar
Kalau kita berbicara tentang pengajaran, orang mau tak mau harus mengarahkan perhatian pada 4 hal utama yaitu i) tujuan yang hendak dicapai, ii) strategi belajar mengajar, iii) buku ajar, dan iv) kompetensi profesional untuk berwe-wenang mengajarkannya. (Nababa, 1993: 181).
Perlu disadari bahwa Lembaga Pendidikan Tenaga Kepen-didikan (LPTK) yang bertang-gung jawab atas pendidikan tenaga-tenaga kependidik-an, tidak mempunyai program pendidikan tanpa tenaga kependidikan yang memiliki kewenangan mengajar-kan bahasa Inggris di Sekolah Dasar. Sebelum adanya Kurikulum Kependi-dikan yang berlaku secara Nasional tahun 1994, LPTK diarahkan untuk menghasilkan tenaga pengajar untuk SMA.
Jangankan untuk Sekolah Dasar, untuk Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK dan SLTP pun LPTK tidak siap. Ini berarti bahwa penyelenggaraan pengajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar tidak ditangani oleh guru yang memang kompetenasi mengajar bahasa Inggris untuk SD. Ini berarti bahwa pengajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar diselenggarakan secara coba-coba belaka. Padahal apapun juga yang diajarkan di SD sebagai lembaga pendidikan dasar yang paling awal, mempunyai pengaruh yang besar terhadap pengajaran di jenjang pendi-dikan yang lebih tinggi. Kuat lemahnya dasar yang berhasil diletakkan di Sekolah Dasar akan menentukan perkembangan selanjut-nya.
Alexei A. Leontiev dalam bukunya Psychology and the Language Learning Process (1989) mengemu-kakan mengenai belajar bahasa pada masa kanak-kanak bahwa “Language learning in an early age of a child (6 – 12 years old) has a deceptive effect. His language development will be greatly affected by his experience in learning the language. When he has undergone the right track of learning his language acquisition will develop smoothly (Leontiev, 1989 : 211).
Pendapat Leontiev ini memberi peringatan bahwa pengajaran bahasa, khususnya suatu bahasa asing, harus, harus dijalani sesuai dengan tuntutan pembelajaran anak. Dan untuk dapat berbuat demikian, diperlukan seorang guru yang benar-benar kompeten untuk itu.
Karena pengajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar masih belum merupakan kegiatan kurikuler nasional, maka buku ajarpun tidak tersedia. Guru harus menggunakan bahan ajar darurat yang kesesuaian dan kemanfaatannuya tidak bisa dipastikan.
Dan dengan tidak tersedianya guru bahasa Inggris di SD, strategi belajar-mengajar yang benar dan sesuai dengan kebutuhan pem-belajaran siswa juga tidak bisa di kembangkan.
Kesimpulannya hanya satu: hasil belajar bahasa Inggris di Sekolah Dasar tidak bisa dinilai, karena tidak tidak bisa ditentukan tujuan yang hendak dicapai.
Jikalau pandangan Leontiev dijadikan pegangan, maka dapat diprediksi bahwa pengajaran bahasa Inggris di SLTP dan di SMU juga tidak mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Dan yang lebih buruk, kesalahan belajar di SD akan dibawa serta di SLTP dan SMU dan selanjutnya. Selain dari itu gairah siswa untuk belajar bahasa Inggris tidak atau akan sukar di kembangkan karena mereka mempunyai pengala-man yang tidak menyenangkan mempelajari bahasa itu di Sekolah Dasar.
Artikel Realita Pendidikan di SD pedalaman"Dua Kelas Dalam Satu Ruang"
Berbagi satu ruang untuk kegiatan belajar dua kelas adalah hal yang biasa dilakukan di SD Negeri 02 Sendang, sebuah SD terpencil yang memiliki murid sekitar 40 anak, yang terletak di dusun ngantup desa Nyawangan kecamatan Sendang Tulungagung.
Aroma khas pegunungan mulai menyeruak masuk hidung, udara pagi itu begitu dingin. Dengan jarak tempuh sekitar 35 km dari wilayah kota Tulungagung, empat orang kru DIMeNSI melakukan investigasi di Sekolah Dasar Negeri 02 Sendang, yang persis terletak di Dusun Ngantup, desa Nyawangan kecamatan Sendang Tulungagung.
Walau jalan yang dihadapi begitu tajam dan berkelok-kelok, hal ini tidak menyurutkan keinginan empat kru DIMeNSI untuk melihat dari dekat SD yang telah berdiri sekitar 39 tahun yang lalu ini. Keempat kru DIMeNSI disambut begitu hangat oleh para guru SD ini, saat itu tengah berlangsung Ujian Akhir Sekolah (UAS) untuk kelas 1-5.
Sarana Prasarana yang Terbatas
SD Negeri 02 Sendang ini adalah satu dari 35 SD di daerah Sendang (Tulungagung dalam Angka, BAPPEDA 2006) yang hampir saja luput dari perhatian masyarakat Tulungagung. Sekilas dari kejauhan bangunan SD yang beratap asbes ini tidak bermasalah, tetapi jika kita megamatinya lebih dekat, akan tampak sekali kalau bangunan itu kurang perawatan. Tiang-tiang penyangga yang lapuk serta langit-langit yang jebol dimakan waktu, serta ruang kelas yang sebenarnya kurang layak untuk melakukan proses pembelajaran.
SD yang teletak di daerah perkebunan karet dan terletak di puncak gunung ini, hanya memiliki 3 ruang kelas. Di setiap kelasnya, ada sebuah papan sekat yang membagi ruangan menjadi dua. Sehingga ada dua kegiatan belajar mengajar di setiap ruang kelasnya. Kelas satu digabung dengan kelas dua, kelas tiga digabung dengan kelas empat, dan kelas lima digabung dengan kelas enam."Dalam keseharian mengajar, kita harus benar-benar menjadwal dengan baik, nanti kalau yang satu matematika, lalu yang kelas sebelahnya menyanyi, kasihan kan?" tutur Agus Indarto, salah seorang guru yang mengajar di SD ini.
SD ini memulai aktivitas belajar mengajarnya pada pukul delapan pagi bahkan bisa dimulai pukul setengah sembilan. "Jam segitu, sampean (jawa: kamu ) tanya saja, 97% dari mereka pasti belum makan pagi." Masih Agus. Menurut pengakuan mereka, pernah ada juga murid yang pingsan saat upacara karena belum makan. Eva (9), sejak kelas 1 SD menempuh pendidikan dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Selain itu, dia dan juga beberapa temannya harus menempuh perjalanan yang jauh untuk menuju sekolahnya ini. Di samping itu, dia juga menjajakan makanan kecil kepada teman-temannya untuk menambah penghasilan kedua orang tuanya. "Berangkatnya jam enam pagi, terus sampai sekolah ya jam setengah tujuh" tutur Gunawan, yang saat ini sedang duduk di kelas 3 SD bersama 6 orang temannya.
Dengan latar belakang daerah pegunungan, yang sebagian besar bermata pencaharian petani dan penyadap karet, membuat masyarakat itu minim pengetahuan. "Dulu, pernah kejadian begini, pas upacara bendera, tiba-tiba ada seekor kidang (rusa; yang muncul di sekitar kawasan sekolah ini, tanpa disuruh pun, semua murid yang ikut upacara bubar." Terang Agus sembari tertawa kecil, yang diikuti oleh empat kru DIMeNSI yang lainnya.
Minim kesejahteraan
Persoalan yang banyak menjadi keluhan para guru adalah lokasi yang terpencil dengan jalan yang masih belum beraspal. Tidak jarang jika musim penghujan banyak dari guru yang jatuh dari sepeda motor karena jalan yang teramat sulit dan licin. Di samping itu kesejahteraan para guru dan kepala sekolah masih memprihatinkan. Seperti yang di ungkapakan oleh Nurohmad, "Saya sudah mengajukan mutasi sebanyak tiga kali akan tetapi belum ditanggapi."
Selain itu, sedikit sekali bantuan yang diberikan untuk menyejahterakan sekolah ini. Yang pernah diberikan adalah bantuan uang transportasi 30 ribu, dua kali saja selama dua tahun, juga bantuan sepatu untuk guru-guru hanya sekali saja. "Ya sepatu yang sekarang saya pakai ini," ungkap Nurohmad, laki-laki paruh baya yang telah mengabdikan dirinya selama 21 tahun di SD Negeri 02 Sendang ini, sembari memperlihatkan sepatu yang bagian talinya bertuliskan guru kepada kru DIMeNSI. Dia mengabdikan dirinya bersama 10 orang guru yang lainnya, empat orang diantaranya adalah pegawai negeri sipil, dua orang yang lainnya adalah calon pegawai negeri, sedangkan empat sisanya adalah guru honorer. Mereka semua harus menempuh perjalanan beberapa kilometer setiap harinya untuk mengajar.. "Dulu, juga pernah ada bantuan uang makan untuk murid-murid dari Pak Bupati, 500 ribu. Setelah beliau pulang, beberapa hari kemudian saya pernah mencoba menghubungi beliau untuk berterimakasih, tapi berkali-kali saya coba tidak pernah diangkat," kata Agus, "ya sama dengan falsafah lama to, yang dekat dewa yang enak," sahut Nurohmad. "ya, bukannya gimana-gimana, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih saja," balas Agus, laki-laki yang berdomisili di Gedang Sewu Tulungagung ini.
Layaknya SD pada umumnya, jangan dibayangkan siswa di sini berseragam lengkap. Ada sebagian yang tidak berseragam, bahkan ada yang membawa adiknya ke sekolah, atau istilah jawanya momong (mengasuh), hal ini dilakukan karena di rumah tidak ada yang mengasuh, ditinggal orang tua mereka bekerja seharian di ladang atau menyadap karet. Pada sekitar tahun 1992, dengan membawa seragam sekolah, guru-guru menghampiri rumah-rumah penduduk untuk mengajak anak-anak usia sekolah mau belajar di SD ini.
Di tengah-tengah wawancara, seorang anak kelas enam, yang berjalan bersama kerumunan teman-temannya yang hendak pulang, bertanya kepada Agus dan Nurohmad, "Pak, besok bawa tas nggak?", Agus pun menjawab, "Sembarang nduk, bawa takir yo oleh sing penting mlebu (terserah nak, membawa takir (jawa: makanan bungkus) juga boleh, asalkan masuk sekolah;)."
Sambutan ramah dan hangat, jalan berkelok-kelok nan terjal yang membuat adrenalin dalam darah meningkat, senyum anak-anak kecil yang ceria nan polos, adalah kenangan yang tak terlupakan saat empat kru DIMeNSI meninggalkan SD ini. Terbersit satu tanya, sampai kapankah proses pendidikan mereka akan terus seperti ini?
Aroma khas pegunungan mulai menyeruak masuk hidung, udara pagi itu begitu dingin. Dengan jarak tempuh sekitar 35 km dari wilayah kota Tulungagung, empat orang kru DIMeNSI melakukan investigasi di Sekolah Dasar Negeri 02 Sendang, yang persis terletak di Dusun Ngantup, desa Nyawangan kecamatan Sendang Tulungagung.
Walau jalan yang dihadapi begitu tajam dan berkelok-kelok, hal ini tidak menyurutkan keinginan empat kru DIMeNSI untuk melihat dari dekat SD yang telah berdiri sekitar 39 tahun yang lalu ini. Keempat kru DIMeNSI disambut begitu hangat oleh para guru SD ini, saat itu tengah berlangsung Ujian Akhir Sekolah (UAS) untuk kelas 1-5.
Sarana Prasarana yang Terbatas
SD Negeri 02 Sendang ini adalah satu dari 35 SD di daerah Sendang (Tulungagung dalam Angka, BAPPEDA 2006) yang hampir saja luput dari perhatian masyarakat Tulungagung. Sekilas dari kejauhan bangunan SD yang beratap asbes ini tidak bermasalah, tetapi jika kita megamatinya lebih dekat, akan tampak sekali kalau bangunan itu kurang perawatan. Tiang-tiang penyangga yang lapuk serta langit-langit yang jebol dimakan waktu, serta ruang kelas yang sebenarnya kurang layak untuk melakukan proses pembelajaran.
SD yang teletak di daerah perkebunan karet dan terletak di puncak gunung ini, hanya memiliki 3 ruang kelas. Di setiap kelasnya, ada sebuah papan sekat yang membagi ruangan menjadi dua. Sehingga ada dua kegiatan belajar mengajar di setiap ruang kelasnya. Kelas satu digabung dengan kelas dua, kelas tiga digabung dengan kelas empat, dan kelas lima digabung dengan kelas enam."Dalam keseharian mengajar, kita harus benar-benar menjadwal dengan baik, nanti kalau yang satu matematika, lalu yang kelas sebelahnya menyanyi, kasihan kan?" tutur Agus Indarto, salah seorang guru yang mengajar di SD ini.
SD ini memulai aktivitas belajar mengajarnya pada pukul delapan pagi bahkan bisa dimulai pukul setengah sembilan. "Jam segitu, sampean (jawa: kamu ) tanya saja, 97% dari mereka pasti belum makan pagi." Masih Agus. Menurut pengakuan mereka, pernah ada juga murid yang pingsan saat upacara karena belum makan. Eva (9), sejak kelas 1 SD menempuh pendidikan dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Selain itu, dia dan juga beberapa temannya harus menempuh perjalanan yang jauh untuk menuju sekolahnya ini. Di samping itu, dia juga menjajakan makanan kecil kepada teman-temannya untuk menambah penghasilan kedua orang tuanya. "Berangkatnya jam enam pagi, terus sampai sekolah ya jam setengah tujuh" tutur Gunawan, yang saat ini sedang duduk di kelas 3 SD bersama 6 orang temannya.
Dengan latar belakang daerah pegunungan, yang sebagian besar bermata pencaharian petani dan penyadap karet, membuat masyarakat itu minim pengetahuan. "Dulu, pernah kejadian begini, pas upacara bendera, tiba-tiba ada seekor kidang (rusa; yang muncul di sekitar kawasan sekolah ini, tanpa disuruh pun, semua murid yang ikut upacara bubar." Terang Agus sembari tertawa kecil, yang diikuti oleh empat kru DIMeNSI yang lainnya.
Minim kesejahteraan
Persoalan yang banyak menjadi keluhan para guru adalah lokasi yang terpencil dengan jalan yang masih belum beraspal. Tidak jarang jika musim penghujan banyak dari guru yang jatuh dari sepeda motor karena jalan yang teramat sulit dan licin. Di samping itu kesejahteraan para guru dan kepala sekolah masih memprihatinkan. Seperti yang di ungkapakan oleh Nurohmad, "Saya sudah mengajukan mutasi sebanyak tiga kali akan tetapi belum ditanggapi."
Selain itu, sedikit sekali bantuan yang diberikan untuk menyejahterakan sekolah ini. Yang pernah diberikan adalah bantuan uang transportasi 30 ribu, dua kali saja selama dua tahun, juga bantuan sepatu untuk guru-guru hanya sekali saja. "Ya sepatu yang sekarang saya pakai ini," ungkap Nurohmad, laki-laki paruh baya yang telah mengabdikan dirinya selama 21 tahun di SD Negeri 02 Sendang ini, sembari memperlihatkan sepatu yang bagian talinya bertuliskan guru kepada kru DIMeNSI. Dia mengabdikan dirinya bersama 10 orang guru yang lainnya, empat orang diantaranya adalah pegawai negeri sipil, dua orang yang lainnya adalah calon pegawai negeri, sedangkan empat sisanya adalah guru honorer. Mereka semua harus menempuh perjalanan beberapa kilometer setiap harinya untuk mengajar.. "Dulu, juga pernah ada bantuan uang makan untuk murid-murid dari Pak Bupati, 500 ribu. Setelah beliau pulang, beberapa hari kemudian saya pernah mencoba menghubungi beliau untuk berterimakasih, tapi berkali-kali saya coba tidak pernah diangkat," kata Agus, "ya sama dengan falsafah lama to, yang dekat dewa yang enak," sahut Nurohmad. "ya, bukannya gimana-gimana, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih saja," balas Agus, laki-laki yang berdomisili di Gedang Sewu Tulungagung ini.
Layaknya SD pada umumnya, jangan dibayangkan siswa di sini berseragam lengkap. Ada sebagian yang tidak berseragam, bahkan ada yang membawa adiknya ke sekolah, atau istilah jawanya momong (mengasuh), hal ini dilakukan karena di rumah tidak ada yang mengasuh, ditinggal orang tua mereka bekerja seharian di ladang atau menyadap karet. Pada sekitar tahun 1992, dengan membawa seragam sekolah, guru-guru menghampiri rumah-rumah penduduk untuk mengajak anak-anak usia sekolah mau belajar di SD ini.
Di tengah-tengah wawancara, seorang anak kelas enam, yang berjalan bersama kerumunan teman-temannya yang hendak pulang, bertanya kepada Agus dan Nurohmad, "Pak, besok bawa tas nggak?", Agus pun menjawab, "Sembarang nduk, bawa takir yo oleh sing penting mlebu (terserah nak, membawa takir (jawa: makanan bungkus) juga boleh, asalkan masuk sekolah;)."
Sambutan ramah dan hangat, jalan berkelok-kelok nan terjal yang membuat adrenalin dalam darah meningkat, senyum anak-anak kecil yang ceria nan polos, adalah kenangan yang tak terlupakan saat empat kru DIMeNSI meninggalkan SD ini. Terbersit satu tanya, sampai kapankah proses pendidikan mereka akan terus seperti ini?
Langganan:
Postingan (Atom)