Kamis, 18 November 2010

Upaya Strategis Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di SD pada Era Implementasi KTSP

Kita meyakini bahwa salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasakan arah perkembangan masyarakat Indonesia di masa depan adalah pendidikan. Pendidikan dalam konsep pengembangan masyarakat merupakan dinamisasi dalam pengembangan manusia yang beradab. Pendidikan tidak hanya terbatas berperan pada pengalihan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) saja, namun dalam Undang-undang No: 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dari fungsi dan tujuan pendidikan ini diharapkan manusia Indonesia adalah manusia yang berimbang antara segi kognitif, afektif dan psikomotor.
Dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional, dunia pendidikan kita secara nasional dihadapkan pada salah satu
masalah besar yakni peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Masalah ini menjadi  fokus yang paling penting  dalam pembangunan pendidikan nasional. Pembangunan pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan SDM suatu Negara.
Pemeringkatan internasional menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia berdaya saing rendah secara global. Hasil
penelitian  UNDP  pada tahun 2007 tentang HDI (Human Development Index), Indonesia menduduki peringkat ke 107 dari 177 negara yang diteliti, dan dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian Indonesia pada peringkat yang paling rendah. (HD Report 2007/2008)Salah satu unsur utama dalam penentuan komposit Indeks
Pengembangan Manusia ( Human Development Index) ialah tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa
tersebut. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas SDM adalah gambaran mutu pendidikan yang tidak
menggembirakan. Rendahnya kualitas SDM akan menjadi batu sandungan dalam era globalisasi, karena era globalisasi
merupakan era persaingan mutu atau kualitas. Jika bangsa Indonesia ingin berkiprah dalam dunia global maka langkah
pertama yang harus dilaksnakan adalah menata SDM, baik dari aspek intelektual, emosional, spiritual, kreativitas, moral
maupun tanggungjawabnya. Penataan ini perlu diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan melalui sistem
pendidikan yang berkualitas.Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan tersebut dipengaruhi oleh sejumlah factor. Di
antara factor terpenting adalah terkait dengan kinerja kepala sekolah dalam mengelola sekolah sebagai satu satuan
pendidikan yang menyelenggarakan proses pembelajaran kepada peserta didik. Dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun
1990 bahwa : ”Kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi
sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sasarana dan
prasarana”. Maka kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam
meningkatkan kualitas pendidikan maka dalam tinjauan kinerja kepala sekolah perlunya adanya pemikiran tentang
upaya-upaya strategis peningkatan mutu pendidikan khususnya pada jejang sekolah dasar.

Minggu, 14 November 2010

Pendidikan ke Depan

Mengapa pendidikan bermasalah? Berbagai teori dikemukakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Namun, banyak orang sering lupa bahwa masalah pendidikan yang sebenarnya mendasar adalah bagaimana memanusiakan anak sebagai manusia melalui pendidikan. Permasalahan pendidikan di negeri ini lebih banyak disebabkan masalah anak sebagai anak manusia selalu diselesaikan menurut beragam kepentingan orang tua/orang dewasa. Harus disadari dan dipahami bahwa masalah pendidikan bukan hanya sekedar memberdayakan pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan nurani dan moral spiritual serta pembentukan karakter.
Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah, karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya.
Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk sekolah.
Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar. Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan, mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.
Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai 4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa tidak ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan produk teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).
Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas Kabupaten/Kota, sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan, maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya untuk langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya, karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya peserta didik.
Sekali lagi inilah masalahnya, kita cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain, termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam pengelolaan pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya untuk tidak terlihat salah dengan jalan mengorbankan anak didik. Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering dan selalu kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang!!!